Kritik Dunia Hiburan Yang Eksploitasi Difabel Bertubuh Mini

Kritik Dunia Hiburan Yang Eksploitasi Difabel Bertubuh Mini

TVRI YOGYAKARTA NEWSPAULUS YESAYA JATI

Para difabel achondroplasia menyuarakan kegelisahan batin melalui pertunjukan teater yang sering terpinggirkan di dunia hiburan karena memiliki ukuran tubuh mini.

Dikemas dengan setting ala ajang pencarian bakat, para penonton diajak untuk berinteraksi sebagai juri dalam pementasan teater ini sekaligus mengajak masyarakat luas merasakan apa yang mereka rasakan. Teater berjudul “Menembus Batas” dipentaskan di Yogyakarta untuk mengkritik dunia hiburan yang tak ramah difabel. Salah satunya, menyuarakan keprihatinan terhadap dunia hiburan yang sering meminggirkan difabel achondroplasia yang memiliki ukuran tubuh mini. Latar teater ini pun mengambil suasana audisi ajang pencarian bakat sehingga semakin menguatkan cerita yang diangkat. Istimewanya, para lakon yang memerankan teater ini juga berasal dari penyandang disabilitas, salah satunya seniman difabel achondroplasia, Nanik Indarti. Ia mengatakan pementasan ini mengangkat kegelisahan teman-teman difabel achondroplasia yang memiliki ukuran tubuh mini. Di dunia hiburan, penyandang achondroplasia masih belum mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang biasa, misalnya soal kostum yang disediakan pasti berukuran all size sehingga kebesaran jika dipakai. Selain itu, adanya perilaku-perilaku industri hiburan yang mengasihani, merendahkan, dan mengeksploitasi penyandang achondroplasia untuk rating acara. Pertunjukan teater ini pun juga menjadi ajang pembuktian para penyandang achondroplasia benar-benar memiliki bakat dan kemampuan seni untuk dunia hiburan. Uniknya, para penonton juga diajak untuk berinteraksi seolah mereka sedang menonton ajang pencarian bakat. Untuk penonton disabilitas, panitia pun menyediakan juru bahasa isyarat dan pembisik teman netra sehingga mereka bisa ikut merasakan pertunjukan teater tersebut.

Diketahui, pementasan teater “Menembus Batas” ini memakan waktu latihan sekitar dua bulan. Untuk kendala selama proses latihan, tersendatnya komunikasi, terutama sinyal handphone antar pemain lantaran berdomisili di luar kota Yogyakarta seperti Banyuwangi dan Banten. Tak hanya memperjuangkan penyandang achondroplasia, teater interaktif ini juga turut menyuarakan hak-hak perempuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *