TVRI YOGYAKARTA NEWS – JATMIKO HADI
Keterbatasan bahan baku menjadi salah satu kendala bagi para perajin busur panah tradisional dalam menjalankan usaha mereka.
Semakin sedikitnya bahan baku lokal alam berkualitas, membuat pengrajin bahkan harus mendatangkan bahan baku dari luar daerah.
Perkembangan zaman yang begitu pesat saat ini, ternyata tak menurunkan minat masyarakat untuk menggeluti olahraga tradisional panahaan. Bahkan minta masyarakat terhadap olahraga ini terus meningjat sejak beberapa tahun terakhir. Hal itu dibuktikan dengan semakin banyaknya pesanan yang diterima para pengrajin busur panah tradisional. Seperti dirasakan Joko Triyanto, warga Dusun Ngulakan, Kalurahan Hargorejo, Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia mengakui rutin memproduksi busur panah untuk memenuhi pesanan konsumen. Namun keterbatasan bahan baku berkualitas, masih menjadi salah satu kendala, yang harus dihadapinya saat ini. Untuk bisa mendapatkan bahan baku berkualitas seperti kayu sono hingga bambu petung, ia pun tak jarang harus mencarinya hingga ke luar daerah, untuk menemukan spesifikasi bahan baku yang sesuai dengan yang dibutuhkan.
Joko mampu membuat 4 hingga 5 unit busur panah berkualitas setiap bulannya. Satu busur, rata-rata menghabiskan waktu sekitar 4 hingga 5 hari. Bahan baku utama yang ia butuhkan adalah kayu sono keling ataupun sono kembang , serta bambu petung berusia tua, dengan panjang ros minimal 70 sentimeter. Keduanya dipilih, karena dianggap memiliki karakter tampilan, maupun tingkat kekuatan, yang sangat bagus dibanding kayu jenis lainnya. Sementara itu, proses paling sulit dalam membuat busur sendiri adalah, proses pembuatan sayap atau lar. Bambu harus dibuat tipis dan lentur namun kuat dan tidak mudah patah.