TVRI YOGYAKARTA NEWS – PAULUS YESAYA JATI
Sejumlah isu-isu perempuan diangkat dalam Festival Film Perempuan, salah satu yang disorot, yakni persoalan-persoalan yang terjadi pada perempuan seolah dinormalisasi dan lumrah terjadi.
Perempuan akan dianggap wajar jika harus bekerja dan merawat anak, atau seblaiknya, perempuan terpaksa tidak bekerja karena harus merawat anak sehingga menghilangkan peluang-peluang untuk maju.
Women film festival film mengangkat isu-isu terkini tentang sejumlah persoalan dan perjuangan perempuan yang dihadapi di masa sekarang ini, khususnya di indonesia dan korea selatan. Diskriminasi dan kesetaran menjadi topik yang dominan dalam festival tersebut. Kegiatan yang digelar Himpunan Mahasiswa Korea UGM ini bertujuan untuk membuka cara pandang masyarakat agar memiliki perhatian dan kepedulian terhadap berbagai persoalan yang dihadapi perempuan, tapi sering dipandang sebelah mata. Berbagai kendala yang dihadapi seperti normalisasi beban ganda terhadap perempuan, ancaman kekerasan, dan peluang pekerjaan. Salah satu judul film dari korea yang diangkat berjudul Kim Ji Young Born 1982 karya sutradara perempuan Kim Do Young. Film ini menceritakan tentang tekanan hidup yang banyak dialami wanita di korea selatan saat ini,tokoh bernama Kim Ji young terpaksa harus meninggalkan pekerjaan dan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Hal ini membuat suaminya Dae Hyeon merasakan istirnya tersebut menjadi sosok berbeda hingga bertanya ke psikiater dengan kesimpulan istrinya telah kehilangan jati dirinya. Sang suami pun segera mengambil peran berbagi tugas untuk ikut merawat anaknya agar istrinya juga memiliki waktu menikmati kehidupannya sendiri, film ini sempat menjadi kontroversial karena dianggap melawan budaya patriarki di Korea Selatan.
Sementara film asal Indonesia berjudul Sunday Morning In Victoria Park Karya Sutradara Film perempuan Lola Amaria, menceritakan nasib rentan bagi tenaga kerja wanita di negara orang seperti Hongkong, dengan harapan dapat hidup lebih baik, namun justru mengalami banyak persoalan seperti ancaman kekerasan fisik dan seks, serta terjerat hutang karena gaya hidup dan menuruti berbagai permintaan suami atau orangtua yang ada di kampung asalnya, terdapat tokoh yang memutuskan bunuh diri karena terlilit hutang besar dan terpaksa menjual diri karena tidak menemukan solusi.
“Kita ingin memperkenalkan film Indonesia dan Korea, mengangkat tema-tema perempuan, utamanya apa saja sih hadapi perempuan di dalam mereka hadapi pasti berbeda, namun kadang suka ada kesamaan, kita akan mengangkat itu, dan juga tidak hanya menayangkan film, namun juga membawa para film maker dari Korea dan Indonesia untuk berdiskusi mengenai alas an membuat film itu, hambatan apa saja yang di hadapi, nilai-nilai yang ingin diangkat seperti apa” ujar Aliviana Amri Rosadi, selaku penyelenggara.
Dalam diskusinya, para peserta yang rata-rata diikuti perempuan diajak untuk merespon fenomena-fenomena sosial yang diangkat dalam film yang diputar, para audiens pun diajak untuk berani mengambil tindakan terhadap berbagai persoalan perempuan yang muncul sekarang ini apalagi mengalaminya sendiri, harapannya, ke depan, kesetaraan perempuan akan lebih terwujud dengan lebih baik tanpa diskriminasi yang sering dinormalisasi.