PPN 12 Persen Ubah Pola Konsumsi Masyarakat

PPN 12 Persen Ubah Pola Konsumsi Masyarakat

TVRI YOGYAKARTA NEWS – HERDIAN GIRI

Kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 12%, berdampak pada pola konsumsi masyarakat.

Pola konsumsi yang berubah adalah, kelas menengah dan bawah, sementara kelas atas tidak terlalu terdampak, kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 12%.

Pemerintah Republik Indonesia resmi memberlakukan pajak pertambahan nilai 12%, hanya pada barang dan jasa mewah. Kebijakan ini, berdampak pada pengeluaran kelas bawah dan menengah sekitar 300 hingga 450 ribuh rupiah per bulan. Sementara kelas menengah ke atas sekitar 550 ribu  hingga 750 ribu rupiah per bulan. Ini merupakan tambahan pengeluaran dengan komponen pengeluaran yang dikenai PPN. Meski PPN 12%, hanya dikenakan pada barang-barang mewah, namun setelah dirinci, juga berdampak pada barang-barang yang dikonsumsi kelas menengah ke bawah, seperti fashion dan lainnya. Perubahan pola konsumsi juga mengganggu rantai pasok untuk industri dalam negeri. Peningkatan pengeluaran ini, tidak sebanding dengan peningkatan upah pekerja, yang hanya sekitar 140 hingga 150 ribu rupiah. Sementara pengeluaran naik 300 ribu rupiah dan semakin menambah beban pengeluaran masyarakat. Adaptasi yang bisa dilakukan masyarakat kelas menengah, menengah ke bawah, hingga kelas bawah adalah, dengan menekan pengeluaran atau meningkatkan pendapatan. Tak hanya itu, konsumen juga beralih ke produk yang lebih murah, dan hal ini berdampak pada deindustrialisasi, seperti barang elektronik dan tekstil dan produk tekstil. Lebih jauh lagi, deindustrialisasi bisa sampai ke ancaman pemutusan hubungan kerja. Meski antisipasi dengan mitigasi sosial sudah dilakukan pemerintah, tapi ini hanya pemanis karena berlaku 2 bulan.

“Terus upah ini berdampak lebih luas untuk perusahaan menengah, kalau perusahaan kecil ini akan survive, akan ada pengecualian disitu, UMKM ini diselesaikan melalui dialog bipartide, perusahaan besar akan survive dengan angka itu, kemudian apabila ditambah dengan upah minimum sektoral yang identiknya besarannya lebih besar daripada upah minimum provinsi, ini tentunya industri besar pun akan keberatan, kita tahu perusahaan industri teksil ini sedang menghadapi pailit dalam minggu ini, setelah sritex kan ada yang lain yang sedang menunggu putusan pailit, nah ini dampak di DIY bagaimana, untuk DIY akan terjadi akan ada pemutusan hubungan kerja yang lebih banyak, karena 10-15% pekerja sritex itu tinggal di DIY, brati angkanya di sekitar 5000-7000 orang” ujar Wakil Ketua APINDO DIY Bidang Ketenagakerjaan, Timotius Apriyanto.

Asosiasi Pengusaha Indonesia, APINDO Daerah Istimewa Yogyakarta mengusulkan, agar pemerintah memberikan subsidi upah bagi pekerja, dan meningkatkan efisiensi pelayanan publik, seperti perizinan, untuk menekan deindustrilisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *