TVRI YOGYAKARTA NEWS – TRI HARTANTO
Anggaran 10 ribu rupiah, untuk Makan Bergizi Gratis, masih sangat mungkin terpenuhi gizinya, tetapi harus selalu ada evaluasi dan ditingkatkan.
Anggaran 10 ribu rupiah, untuk Makan Bergizi Gratis, dapat ditekan dengan, subsidi silang dan pengurangan biaya lain, seperti biaya transportasi ke sekolah, dengan memanfaatkan pembuatan makanan, di wilayah yang dekat dengan sekolah.
Program Makan Bergizi Gratis sangat mulia, karena tidak semua negara sanggup, dan dapat melakukan program besar seperti ini. Dilihat dari perencanaannya, anggaran 10 ribu untuk setiap anak, atau per porsi masih mungkin dilaksanakan. Namun, pelaksanaannya harus terus dipantau, dievaluasi, dan ditingkatkan. Ahli gizi Universitas Gajah Mada Yogyakarta Toto Sudargo menilai, harga tersebut dapat ditekan dengan subsidi silang, dan pengurangan biaya lain, seperti biaya transportasi ke sekolah, dengan memanfaatkan pembuatan makanan di wilayah yang dekat dengan sekolah.
“Justru pemerintah memberikan sebuah klektif, program perencanaan dimana dalam perencanaan tersebut aka nada cross subsidi dananya yang 10 ribu ini, pada kelompok-kelompok ini SMA, SMP, SD, TK adalah jumlah kalori atau kebutuhan kalori per-hari setiap orang berbeda, dengan 10 ribu itu saya yakin masih realistis, asal adalah, jangan pernah para penyelenggara Makan Bergizi Gratis untuk berpikir profit, sekarang menu yang disajikan adalah menu yang enak sekalian, tidak perlu melihat kuantitas atau jumlah, justru yang saya lihat kualitasnya, karena ketika makan pas enak-enaknya berhenti, itu akan membuat penasaran besok, sehingga anak-anak berpikiran besok makan apa lauknya, sehingga akan mengurangi angka tidak masuk sekolah, dengan menu yang terbatas ini dan kualitas itu tidak kaweis, istilah kami itu weistorasi sisa makanan, karena makanan dihabiskan semuanya, daripada makanan yang besar namun diacak-acak sama anak-anak, itu malah menyakitkan” ujar Ahli gizi Universitas Gajah Mada Yogyakarta Toto Sudargo.
Dengan anggaran yang disediakan, setiap daerah dapat menerapkan menu berbeda, sesuai dengan ketersediaan potensi dan kekayaan hasil alam setiap daerah. Beberapa daerah masih mengandalkan nasi, tetapi di beberapa daerah, seperti Papua dapat diganti dengan sagu, papeda, atau jagung untuk karbohidrat. Untuk protein, vitamin, dan mineral, dapat diganti dengan ikan, telur, dan daging atau sumber nabati lainnya, sesuai wilayah masing-masing. Selain aspek gizi dan biaya, badan pengawas obat dan makanan, juga perlu diintensifkan, dalam membantu memantau pelaksanaan program ini.