Tumplak Wajik, Prosesi Dimulainya Merangkai Gunungan

Tumplak Wajik, Prosesi Dimulainya Merangkai Gunungan

TVRI YOGYAKARTA NEWSPAULUS YESAYA JATI

Kawedanan Widyo Budoyo Kraton Yogyakarta menggelar upacara tumplak wajik di Panti Pareden Kilen, Plataran Kemagangan, Kraton Yogyakarta. Tumplak wajik menandai dimulainya proses merangkai gunungan dalam rangka Gerebeg Besar Idul Adha 1445 H.

Gunungan sendiri menjadi simbol pemberian Raja berupa hasil bumi Mataram untuk rakyatnya. Gunungan juga merupakan wujud kemakmuran Kraton Yogyakarta.

Tumplak wajik menjadi salah satu rangkaian dalam hajad dalem Gerebeg Besar peringatan Hari Raya Idul Adha 1445 H. Prosesi ini diawali kedatangan rombongan Abdi Dalem Keprakaran yang dipimpin Putri Dalem atau Putri Sultan. Kedatangan mereka disambut dengan gejog lesung atau khothekan. Dinamai tumplak wajik karena menuangkan seluruh adonan wajik dengan cara membalikkan wadahnya ke tatakan kayu berbentuk bulat sebagai dasar gunungan.

Tumplak wajik menandai dimulainya proses merangkai tujuh gunungan yang akan diarak dalam upacara Gerebeg Besar pada tanggal delapan belas Juni nanti. Gunungan sendiri memiliki makna sebagai simbol sedekah Raja kepada rakyat.

Saat prosesi tumplak wajik diiringi kembali dengan bunyi khothekan, yakni membuat suara dengan memukulkan alu ke lesung. Khothekan ini dilakukan sejumlah Abdi Dalem dari Kraton Yogyakarta. Bunyi-bunyi berirama dari khothekan dipercaya mampu menolak bala atau berbagai hal buruk yang akan terjadi.

Upacara tumplak wajik sendiri dipimpin oleh Kanca Kaji dengan diawali membacakan doa. Ketika gunungan putri sudah jadi, Abdi Dalem akan memasang jodhang mustaka di atasnya, kemudian mengoleskan lulur yang terbuat dari dlingo dan bengle ke jodhang.

Selanjutnya, Putri Sultan akan melilitkan kain panjang atau sinjang songer, diikuti lilitan semekan bangun tulak (kain penutup dada perempuan). Namun, tidak lama kemudian, kedua kain tersebut akan dilepas kembali.

Di akhir prosesi, para Abdi Dalem akan mengoleskan lulur yang terbuat dari dlingo dan bengle ke bagian sejumlah wajah. Dipercaayai, dlingo dan bengle menjadi jenis empon-empon yang tidak disukai makhluk halus.

Dalam setahun, Kraton Yogyakarta menggelar tiga kali acara Gerebeg, yaitu Gerebeg Mulud untuk peringatan lahir Nabi Muhammad, Gerebeg Syawal menandai akhir bulan puasa, dan Gerebeg Besar memperingati Hari Raya Idul Adha. Nantinya, dalam prosesi Gerebeg, tujuh gunungan yang diarak keluar Kraton akan dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol sedekah Raja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *