TVRI YOGYAKARTA NEWS – PAULUS YESAYA JATI
Tak begitu terdampak disrupsi teknologi digital, industri perbukuan di Daerah Istimewa Yogyakarta, terus berkembang, baik dari jumlah penerbit maupum produksi buku.
Pertumbuhan ini, tak hanya terjadi di Yogyakarta, tapi juga di kota besar lainnya, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Industri perbukuan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dari waktu ke waktu terus tumbuh siginfikan, khususnya buku cetak. Pertumbuhan tersebut, memupus anggapan buku cetak akan hilang, di era perkembangan buku digital, yang bisa dibaca melalui gawai. Ikatan penerbit Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat, adanya lonjakan penerbit baru, sejak 3 tahu terakhir. Pada Tahun 2021, tercatat Anggota IKAPI DIY hanya sekitar 70-an penerbit, tapi pada tahun 2024, Anggota IKAPI DIY mencapai 200 penerbit. Indikator lainnya, adanya lonjakan jumlah judul baru dari yogyakarta, yang didaftarkan ke perpustakaan nasional, untuk mendapatkan international standard book number. Selama 3 tahun terakhir, dari per tahunnya hanya rata-rata 9.000 judul buku yang didaftarkan ISBN ke perpusnas, tapi satu tahun terakhir ini, bisa mencapai 14.000 judul buku baru yang diajukan. IKAPI DIY mensinyalir, kenaikan produksi buku terjadi karena, masih banyak sekolah atau kampus, yang memanfaatkan buku cetak atau fisik, untuk kegiatan belajar mengajar, karena pemanfaatanya yang simpel. Kenaikan produksi buku juga didongkrak, karena adanya tuntutan dosen atau guru, untuk menerbitkan karya ilmiahnya menjadi buku, guna memenuhi karir akademisnya. IKAPI DIY juga melihat satu fenomena yang menarik, terkait dunia perbukuan di kota pendidikan ini, yaitu, meskipun sejumlah toko buku besar konvensional tutup, kini banyak anak muda yang menyulap kos-kosan atau kontrakannya, menjadi toko buku alternatif, dalam rupa kedai-kedai kopi atau tempat nongkrong kekinian. Bahkan mereka menjualnya secara daring.
“Pasar atau kebutuhan buku digital secara retail sebenernya belum tampak tumbuh masih sangat segmented, mungkin masih di generasi yang bener anak muda banget, atau di kalangan akademisi, atau di untuk koleksi perpustakaan daerah atau perpustakaan Nasional, temen-temen penerbit itu harusnya sudah menyiapkan buku elektronik” ujar Ketua IKAPI DIY, Wawan Arif.
Generasi Z juga gemar membaca buku yang dicetak, selain buku digital. Generasi Z menyukai buku laris yang bergenre novel, motivasi, dan self healing. Untuk itu, toko buku disarankan mulai melakukan rebranding usahanya, agar banyak didatangi genrasi muda, khususnya generasi Z.
Untuk kendala perbukuan di indonesia saat ini, IKAPI DIY menyebut pembajakan buku masih menjadi persoalan, yang tak kunjung selesai bagi para penerbit. Bahkan, saat ini, buku digital pun tak luput dari pembajakan. Bagi penerbit, praktek pembajakan ini sangat merugikan, terutama penulis. IKAPI DIY mengajak masyarakat agar membeli buku asli, agar industri perbukuan di indonesia semakin berkembang.