TVRI YOGYAKARTA NEWS – MUCHAMMAD RIDWAN
Rebutan gunungan kendil ijo, turut menandai puncak kegiatan tradisi suran Mbah Demang, yang digelar Pemerintah Kalurahan Banyuraden, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tradisi yang digelar setiap hari kedelapan, di bulan suro penanggalan jawa tahun ini, disambut antusias masyarakat yang menyaksikan jalannya prosesi dengan dimeriahkan ogoh-ogoh raksasa.
Secara rutin Pemerintah Kalurahan Banyuraden, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta bersama warganya, menggelar kirab budaya suran Mbah Demang, yang dimeriahkan dengan ogoh-ogoh raksasa, serta kirab sejumlah pusaka peninggalan Demang Cokrodikromo, dan gunungan kendil ijo. Gunungan ini disusun dari aneka buah dan sayuran serta hasil pertanian jenis hortikultura, dan diperebutkan warga. Jalannya kirab yang dimulai dari Balai Kalurahan Banyuraden, diikuti warga yang tinggal di 8 padukuhan di Kalurahan Banyuraden, meliputi Dowangan, Kaliabu, Dukuh, Somodaran, Sukunan, Kanoman, Banyumeneng dan Modinan. Jalannya kirab dilakukan di sepanjang jalan utama, di Kalurahan Banyuraden, hingga Jalan Godean, menuju Sumur Petilasan Ki Demang Cokrodikromo. Atraksi ogoh-ogoh yang diarak bersamaan dengan sejumlah pusaka, mulai dari kitab ambeya, bende dan foto Ki Demang serta pusaka-pusaka tombak menambah keseruan kirab suran Mbah Demang yang digelar malam hari. Sesuai namanya, kirab budaya masyarakat Kalurahan Banyuraden, Kapanewon Gamping ini digelar setiap malam ke-8 bulan suro. Dipimpin langsung lurah dan pemangku adat serta dihadiri perwakilan Pemerintah Kabupaten Sleman, jalannya prosesi kirab menuju pendapa Ki Demang Tjokro Dikromo yang diiringi sejumlah pengiring dari pasukan bregodo termasuk dalam prosesi lung tinampi tinggalan Ki Demang. Dikisahkan kirab budaya ini bermula dari satu cerita mengenang kedermawanan demang Tjokro Dikromo yang diwujudkan dengan nasi tempel dan kendi ijo. Asrah adalah nama muda Tjokro Dikromo yang diangkat menjadi demang oleh Mr Everwijn atau Kepala Pabrik Gula Demak Idjo pada tahun 1906 – 1924 silam.
“Jaman dahulu itu penjajahan Mbah Demang di sumur ini ada kelebihan, kalau sakit diminum air sumur ini menjadi sembuh, lalu siapa saja Mbah Demang mempunyai social yang sangat tinggi sekali” ujar Lurah Kalurahan Banyuraden, Sudarisman.
Suran Mbah Demang saat ini, telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan pada 2016 lalu, dan digelar setiap tahun sejak 24 tahun lalu kecuali saat pademi Covid-19.